Menelusuri Jejak Komunitas Megalitik Timur Laut Jawa



                   Oleh: Irwan Kurniadi


Kebudayaan megalitik  yang merupakan bentuk-bentuk praktik kebudayaan yang dicirikan oleh pelibatan monumen atau struktur yang tersusun dari batu-batu besar (megalit) dikenal dalam perkembangan peradaban manusia di berbagai tempat: Timur Tengah, Eropa, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, sampai kawasan Polinesia. Dalam kronologi sejarah Eropa dan Timur Tengah, tradisi ini berkembang di akhir zaman batu pertengahan (mesolitikum), zaman batu baru (neolitikum), atau zaman perundagian (pengecoran logam), tergantung dari masyarakat yang mendukungnya. Ada tiga kriteria menjadi penciri tradisi megalitik di Eropa: kubur gunduk (tumulus), upacara penguburan, dan 'batu besar' (Mohen J-P. 1999).


Bagaimana dengan di Indonesia? Tradisi atau kebudayaan megalitik tampaknya berkembang sejak zaman batu baru yang tumpang tindih masanya dengan zaman perundagian. Pencirinya cukup berbeda dari Eropa, meskipun memiliki aspek-aspek yang paralel.


Meskipun biasa dikaitkan dengan masa prasejarah, kebudayaan megalitik tidak mengacu pada suatu era peradaban tertentu, namun lebih merupakan bentuk ekspresi yang berkembang karena adanya kepercayaan akan kekuatan magis atau non-fisik dan didukung oleh ketersediaan sumber daya di sekitarnya. Sempat meluas pada masa pra-Hindu-Buddha, Indonesia sampai abad ke-21 masih memiliki beberapa masyarakat yang masih mendukung tradisi ini, baik dalam bentuk mendekati aslinya, seperti suku bangsa Nias, Batak (sebagian), Sumba, dan Toraja, maupun dalam bentuk akulturasi dengan lapisan budaya setelahnya, seperti suku bangsa Bali, Sunda (masih dipraktikkan oleh masyarakat Badui), dan Jawa (Munandar, AA. tanpa tahun).


Selain penggunaan batu-batu besar sebagai simbol kekuatan magis atau sebagai altar, alat upacara, serta sarana penguburan, tradisi megalitik juga melibatkan struktur ruang/arsitektur tertentu, benda-benda logam (pisau, pedang, tabuhan, dan sebagainya), gerabah (seperti tempayan), kayu, serta manik-manik. Di Nusantara banyak ditemukan tradisi kubur tempayan yang terkait dengan kultur megalitik (Sarwindaningrum I, 2012).


Adanya kebiasaan menyertakan bekal kubur, berupa manik-manik atau senjata, juga berkembang kuat pada tradisi ini. Pada beberapa tempat, tradisi megalitik juga melibatkan bentuk-bentuk seni tatah batu atau ukir batu, sehingga batu merupakan arca yang menunjukkan figur-figur tertentu, seperti di kawasan Pagaralam, Sumatera Selatan.


Tersebarnya tradisi megalitik hampir di seluruh Indonesia, H.R.von Heine Geldern berpendapat, bahwa tradisi ini dibawa oleh pemakai Bahasa Austronesia yang datang ke Indonesia melalui India dan Malaka. Diduga, bahwa Indonesia yang menerima tradisi megalitik dalam dua gelombang, yaitu sebagai berikut:

1. Megalitik tua yang diwakili antara lain oleh menhir, undak batu, dan patung-patung simbolis-monumental bersama-sama dengan pendukung kebudayaan beliung yang diperkirakan berusia 2500 – 1500 Sebelum Masehi dan dimasukkannya dalam masa neolitik. Megalitik tua ini dibawa oleh para imigran melalui Tonkin menuju Malaysia Barat dan masuk ke Indonesia melalui Sumatera. Dari Sumatera sebagian berlanjut ke Jawa dan terus ke Nusa tenggara, sedangkan sebagian lagi menyebar ke Kalimantan terus ke utara.

2. Megalitik muda yang diwakili antara lain oleh peti kubur batu, dolmen semu, sarkofagus, yang berkembang dalam masa yang telah mengenal perunggu dan berusia sekitar awal millenium pertama Sebelum Masehi hingga abad-abad pertama Masehi. (Soejono, ed, 1984: 223 – 224). Megalitik muda ini diperkirakan datang bersama-sama dengan kebudayaan Dongson.


Di Indonesia keberadaaan bangunan-bangunan megalitik sangatlah umum. Sampai saat ini belum dapat dihitung secara pasti jumlahnya. Namun demikian hasil penelitian telah menunjukan sebaran yang sangat luas, baik yang dimulai dari ujung barat (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung), kemudian di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan), sampai ke daerah di wilayah timur (Bali, Sumba, Sumbawa, Flores, Timor, Sabu, Maluku, dan Papua).



Terdapatnya temuan bangunan-bangunan megalitik tentunya tidak terlepas dari latar belakang kepercayaan pendukungnya. Pada hakekatnya bangunan-bangunan megalitik ini di buat karena adanya konsep kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian. Berdasarkan konsep tersebut para pendukung tradisi megalitik melakukan pemujaan kepada nenek moyang.



Pada umumnya dalam melaksanakan pemujaan terhadap nenek moyang, pendukung tradisi megalitik menggunakan suatu media, baik yang berupa bangunan besar maupun tanpa bangunan sama sekali. Bangunan-bangunan megalitik tersebut dapat berupa punden berundak, dolmen, kursi batu, altar batu, menhir, dan arca megalitik.



Kebudayaan Megalitik di Ujung Timur Laut Jawa


Kebudayaan megalitik di ujung timur laut Jawa atau diterminologikan komunitas megalitik timur laut Jawa, dalam penelusuran catatan belum pernah muncul. Namun informasi tinggalan arkeologis yang dapat diindikasikan berasal dari masa neolitik yang berlangsung pada 2000-1500 tahun Sebelum Masehi perlu diobservasi lebih mendalam berdasar karakteristiknya. Yang terkini, temuan wadah bekal kubur berupa tempayan di seputaran hutan Baluran, Kabupaten Situbondo yang mendekati pantai pada tanggal 26 September 2020. 

Ujung timur laut Jawa dengan keberadaan Gunung Baluran dengan hutan dan pantai yang dimungkinkan sebagai pintu gerbang penutur Austronesia.

View hutan Baluran tampak barat dari pinggiran.


Salah satu kapak persegi yang ditemukan dalam wadah bekal kubur berupa tempayan.

Temuan wadah bekal kubur tersebut pada kedalaman 2,5 meter berupa kapak persegi, gelang dan tulang, cukup menarik dikaji. Termasuk juga temuan manik-manik pada radius yang tidak terlalu jauh. Masih dalam kawasan yang sama, ada temuan wadah bekal kubur di dataran yang lebih tinggi. Ini juga bisa menjadi petunjuk peradaban manusia pendukung  masa neolitik yaitu penutur Austronesia.


Berdasarkan penelusuran penulis, hingga ke pedalaman di kawasan tepian kali di Banyuputih, perbukitan Kecamatan Asembagus bagian selatan juga terdapat sebaran temuan serupa. Dari beberapa lokasi yang sudah diidentifikasi, variasi temuan menunjukkan keberlanjutan lini masa.


Jelasnya, bertumpangtindihnya produk kebudayaan penutur Austronesia di wilayah timur laut Jawa berlangsung bukan dari masa neolitik saja, karena bisa berlangsung hingga zaman perundagian (paleometalik) bahkan proto-sejarah. Hingga ke pedalaman, artefaktual berupa benda berbahan logam juga menyertai sebagai bekal kubur, seperti kapak sepatu. Tentu jika bergeser ke pedalaman arah selatan dan barat, sebaran jenis megalit lainnya lebih beragam, di antaranya ceruk dinding batu, monolit, lubang batu, lumpang batu, dolmen, sarkofagus, phallus batu, peti kubur batu dan lain-lain.


Mungkinkah alur persebaran penutur Austronesia melalui pesisir timur laut Jawa? Tentu perlu penelitian yang berkesinambungan. Namun tampaknya sudah dapat dianalisis bahwa ujung timur laut Jawa bisa jadi merupakan pintu gerbang penutur Austronesia dari arah utara yaitu Sulawesi. Dari gerbang tersebut, komunitas megalitik timur laut Jawa masuk dan berkembang. Komunitas tersebut yang diidentifikasi meliputi area Gunung Baluran yang meliputi lereng, lembah serta dataran rendah termasuk pesisir, bisa dikatakan memiliki karakteristik  kubur tempayan. Hal itu diasumsikan setelah melihat tipikal sebarannya . (*)



Sumber rujukan:

^ Mohen J-P. 1999. Megaliths: stones of memory. Translated from the French by Dorie B. and David J. Baker. New York: Harry N. Abrams. 175 p.

^ Munandar, AA. tanpa tahun. The Continuity of Megalithic Culture and Dolmen in Indonesia. Artikel pada laman Research Center of Dolmens in Northeast Asia. 

^ Sarwindaningrum I. Balar Palembang Temukan Tempayan Kubur dari Zaman Megalitikum. Edisi Sabtu, 19 Mei 2012.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama